Minggu, 06 Mei 2012

Pembagian Waris Menurut Islam

PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN

MENGETAHUI pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
  1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
  2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
  3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam. Lihat diagram:

Pokok masalah dari enam (6)

Suami setengah (1/2)
3
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
1
Ibu sepertiga (1/3)
2
Paman kandung, sebagai 'ashabah
0

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah. Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:

Pokok masalah dari dua belas (12)

Istri seperempat (1/4))
3
Ibu seperenam (1/6)
2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
4
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)
3

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila ternyata masih tersisa. Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:

Pokok masalah dari 24

Bagian istri seperdelapan (1/8)
berarti
3
Bagian anak perempuan setengah (1/2)
berarti
12
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
berarti
4
Bagian ibu seperenam (1/6)
berarti
4
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)
1

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar